Man Jadda wajada - Siapa yang bersungguh sungguh, pasti akan berhasil
“Assalamu’alaikum,
warahmatullahiwabarakatuh......” seorang lelaki tua berkata lirih penuh
kekhusyukan, duduk tahiyat akhir menghadapkan mukanya ke arah kanan, dan
beberapa detik kemudian, berganti menghadapkan kepalanya ke kiri. “Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh...”
Sholat Subuh selesai ditunaikan. Masih dalam keadaan duduk bersila, berjejer di belakang lelaki tua itu, ratusan jemaah sholat Subuh, duduk bersila membentuk puluhan sab jauh ke belakang, menggumam bacaan istighfar dengan penuh kekhusyukan.
Ratusan jemaah itu berjejer rapi dan rapat di bawah kubah besar sebuah masjid yang luar biasa luasnya. Tiang-tiang penyangga masjid itu menjulang tinggi ke atas, seakan menembus angkasa. Kubah masjid yang sangat besar mencekung ke atas, di tengahnya bergantung rantai panjang yang kokoh, di ujung rantai terikat lampu dengan mahkota yang megah. Begitu besarnya mahkota lampu tersebut hingga ia menarik kencang rantai penggantungnya dan tidak memberikan kesempatan kepada rantainya untuk bergerak walau satu mili pun.
Sang imam besar masih duduk
bersila tertunduk dan menggumamkan bacaan dzikir yang diikuti oleh jamaahnya.
Suara dzikir para jamaah sholat menggema di seantero masjid dan memecah
keheningan Subuh kala itu. Dinginnya udaara subuh yang menusuk tulang seakan
tidak dihiraukan oleh setiap jamaah. Jiwa mereka seakan dihangatkan oleh
lantunan dzikir yang keluar merdu dari mulut sang imam besar.
Beberapa saat kemudian
keadaan tiba-tiba menjadi sunyi, dzikir telah selesai ditunaikan. Sang Imam memutar
badannya ke arah kiblat, menengadahkan tangannya ke atas, dan mulai berdoa, doa
yang diamini ratusan jamaah dibelakangnya. Sebuah bait-bait doa yang disusun
dengan rapi bahkan penyair terbaik dunia pun tidak akan mampu menandingi
keindahan bait-bait doa ini.
Dua puluh menit para jamaah
tenggelam dalam kekhusyukan doa mereka yang dipimpin oleh imam yang sangat
mereka hormati, ketika doa Subuh itu ditutup dengan bersama-sama membaca surah
Al-Fatihah, surah pembuka Al-Qur’an.
“Waladhdholliiin.......”
“Aaamiiiin...” seluruh
jamaah mengamini akhir rangkaian prosesi salat Subuh tersebut.
Satu persatu para jamaah
keluar dari masjid dan mulai beraktivitas seperti biasa. Banyaknya jamaah dan
luasnya area salat di masjid itu membuat jamaah harus sabar dan antri untuk
keluar dari enam pintu keluar yang dibuat.
Sambil menunggu para jamaah
keluar. Sang Imam bercengkrama dengan beberapa jamaahnya, termasuk pengurus
masjid, dan beberapa orang yang kagum dengan gaya bicara sang Imam.
“Assalamualaikum Ustadz...” salah seorang jamaah menyapa. Lelaki ini masih muda, 25 tahun. Salah
satu dari ratusan jamaahnya tadi. Berperawakan gagah, tingginya mencapai
180centimeter, dengan rambut lurus yang tertutup kopiah hitam bersihnya.
Memakai baju koko putih dan sarung putih yang menambah ketegasan dan ketampanan
lelaki ini.
“Wa’alaikum salam
warahmatullah hiwabarakatuh... Ada apa Ron?” sang Imam menjawab lembut sapaan
lelaki tersebut. Roni, nama lelaki ini, sudah menjadi murid sang Imam sejak ia
masih duduk di bangkus sekolah dasar. Dari matanya jelas terlihat kalau lelaki
ini membawa sebuah pesan yang sangat penting dan mendesak untuk disampaikan
kepada Imam.
“Maaf mengganggu pak Ustadz,
tapi saya harus melaporkan beberapa kegiatan di luar, termasuk ada salah satu
hal yang penting dan harus segera mendapat keputusan pak Ustad....” kata-kata
lelaki itu tiba-tiba tertahan, sebelum akhirnya dilanjutkan kembali setelah
jakunnya naik turun menelan ludahnya.
“Salah satu eskavator kita
rusak pak Ustad, eskavator nomor 3, yang stand
by di zona A, eskavator itu mengeruk tanah berbatu dan lengannya menabrak
bongkahan batu besar hingga beberapa bagian lengannya menjadi bengkok terhantam
batu....” lelaki tersebut menjelaskan kejadian yang menyesakkan dadanya. “Saya
butuh keputusan pak Ustad, apakah kita harus menyewa ulang eskavator atau
memperbaiki dulu yang ini, karena keberadaan eskavator ini sangat vital untuk
proyek pembangunan ini....” lanjutnya.
“Astaghfirullah... mari kita
lihat dulu keluar...”jawab sang Imam sambil berjalan beriringan dengan jamaah
lainnya yang satu persatu datang menghampirinya untuk sekedar menjabat dan
mencium tangan sang Imam. Roni mengikuti dibelakangnya.
Tak sulit bagi sang Imam
untuk keluar dari masjid karena para jamaah yang sangat menghormatinya dengan
sigapnya langsung memberikan jalan kepada sang Imam. Setelah keluar dari
masjid, sang Imam dan Roni berdiri di balkon masjid. “Eskavator mana yang
rusak, Ron?” tanya sang Imam.
“yang disana pak ustad...”
jawab Roni sambil menunjuk ke sebuah kendaraan berat yang diam tak bergerak
beberapa puluh meter di depannya.
Seiring dengan tangan Roni
yang menunjuk eskavator tersebut, pemandangan yang sangat hiruk pikuk memenuhi
sekeliling masjid itu. Tepat di depan mereka berdua, jauh di bawah sana, sedang
dilakukan pembangunan besar-besaran untuk memperluas dan mempercantik masjid
yang sudah sangat indah itu. Nampak di depan mereka rangka-rangka bangunan
bertingkat yang mulai terbentuk, ribuan kayu-kayu penyangga bangunan, serta
hiruk pikuk pekerja yang mulai masuk ke area pembangunan setelah selesai
menunaikan shalat Subuh. Di beberapa titik terdapat beberapa eskavator yang
sedang melakukan pekerjaannya, mengeruk tanah merah berbatu dengan lengan
besinya yang kokoh. Area kontruksi itu sangat luas, sehingga Roni, yang ditunjuk
sebagai supervisor peralatan teknis, perlu kendaraan khusus untuk berkeliling
dari bagian selatan ke bagian utara area proyek tersebut.
Seratus meter di depan sang
Imam berdiri, jauh di depan sana, terpampang sebuah papan proyek bertuliskan.
MEGA PROYEK PEMBANGUNAN DAN PERLUASAN
AREA MASJID “ABDUL AZIZ AL-JUNAIDI”
0 comments:
Post a Comment