Pages

Labels

Monday 24 December 2012

Allagi - Prolog

Man Jadda wajada - Siapa yang bersungguh sungguh, pasti akan berhasil
“Assalamu’alaikum, warahmatullahiwabarakatuh......” seorang lelaki tua berkata lirih penuh kekhusyukan, duduk tahiyat akhir menghadapkan mukanya ke arah kanan, dan beberapa detik kemudian, berganti menghadapkan kepalanya ke kiri. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...”

Sholat Subuh selesai ditunaikan. Masih dalam keadaan duduk bersila, berjejer di belakang lelaki tua itu, ratusan jemaah sholat Subuh, duduk bersila membentuk puluhan sab jauh ke belakang, menggumam bacaan istighfar dengan penuh kekhusyukan.
Ratusan jemaah itu berjejer rapi dan rapat di bawah kubah besar sebuah masjid yang luar biasa luasnya. Tiang-tiang penyangga masjid itu menjulang tinggi ke atas, seakan menembus angkasa. Kubah masjid yang sangat besar mencekung ke atas, di tengahnya bergantung rantai panjang yang kokoh, di ujung rantai terikat lampu dengan mahkota yang megah. Begitu besarnya mahkota lampu tersebut hingga ia menarik kencang rantai penggantungnya dan tidak memberikan kesempatan kepada rantainya untuk bergerak walau satu mili pun.
Sang imam besar masih duduk bersila tertunduk dan menggumamkan bacaan dzikir yang diikuti oleh jamaahnya. Suara dzikir para jamaah sholat menggema di seantero masjid dan memecah keheningan Subuh kala itu. Dinginnya udaara subuh yang menusuk tulang seakan tidak dihiraukan oleh setiap jamaah. Jiwa mereka seakan dihangatkan oleh lantunan dzikir yang keluar merdu dari mulut sang imam besar.
Beberapa saat kemudian keadaan tiba-tiba menjadi sunyi, dzikir telah selesai ditunaikan. Sang Imam memutar badannya ke arah kiblat, menengadahkan tangannya ke atas, dan mulai berdoa, doa yang diamini ratusan jamaah dibelakangnya. Sebuah bait-bait doa yang disusun dengan rapi bahkan penyair terbaik dunia pun tidak akan mampu menandingi keindahan bait-bait doa ini.
Dua puluh menit para jamaah tenggelam dalam kekhusyukan doa mereka yang dipimpin oleh imam yang sangat mereka hormati, ketika doa Subuh itu ditutup dengan bersama-sama membaca surah Al-Fatihah, surah pembuka Al-Qur’an.
“Waladhdholliiin.......”
“Aaamiiiin...” seluruh jamaah mengamini akhir rangkaian prosesi salat Subuh tersebut.
Satu persatu para jamaah keluar dari masjid dan mulai beraktivitas seperti biasa. Banyaknya jamaah dan luasnya area salat di masjid itu membuat jamaah harus sabar dan antri untuk keluar dari enam pintu keluar yang dibuat.
Sambil menunggu para jamaah keluar. Sang Imam bercengkrama dengan beberapa jamaahnya, termasuk pengurus masjid, dan beberapa orang yang kagum dengan gaya bicara sang Imam.
“Assalamualaikum Ustadz...” salah seorang jamaah menyapa. Lelaki ini masih muda, 25 tahun. Salah satu dari ratusan jamaahnya tadi. Berperawakan gagah, tingginya mencapai 180centimeter, dengan rambut lurus yang tertutup kopiah hitam bersihnya. Memakai baju koko putih dan sarung putih yang menambah ketegasan dan ketampanan lelaki ini.
“Wa’alaikum salam warahmatullah hiwabarakatuh... Ada apa Ron?” sang Imam menjawab lembut sapaan lelaki tersebut. Roni, nama lelaki ini, sudah menjadi murid sang Imam sejak ia masih duduk di bangkus sekolah dasar. Dari matanya jelas terlihat kalau lelaki ini membawa sebuah pesan yang sangat penting dan mendesak untuk disampaikan kepada Imam.
“Maaf mengganggu pak Ustadz, tapi saya harus melaporkan beberapa kegiatan di luar, termasuk ada salah satu hal yang penting dan harus segera mendapat keputusan pak Ustad....” kata-kata lelaki itu tiba-tiba tertahan, sebelum akhirnya dilanjutkan kembali setelah jakunnya naik turun menelan ludahnya.
“Salah satu eskavator kita rusak pak Ustad, eskavator nomor 3, yang stand by di zona A, eskavator itu mengeruk tanah berbatu dan lengannya menabrak bongkahan batu besar hingga beberapa bagian lengannya menjadi bengkok terhantam batu....” lelaki tersebut menjelaskan kejadian yang menyesakkan dadanya. “Saya butuh keputusan pak Ustad, apakah kita harus menyewa ulang eskavator atau memperbaiki dulu yang ini, karena keberadaan eskavator ini sangat vital untuk proyek pembangunan ini....” lanjutnya.
“Astaghfirullah... mari kita lihat dulu keluar...”jawab sang Imam sambil berjalan beriringan dengan jamaah lainnya yang satu persatu datang menghampirinya untuk sekedar menjabat dan mencium tangan sang Imam. Roni mengikuti dibelakangnya.
Tak sulit bagi sang Imam untuk keluar dari masjid karena para jamaah yang sangat menghormatinya dengan sigapnya langsung memberikan jalan kepada sang Imam. Setelah keluar dari masjid, sang Imam dan Roni berdiri di balkon masjid. “Eskavator mana yang rusak, Ron?” tanya sang Imam.
“yang disana pak ustad...” jawab Roni sambil menunjuk ke sebuah kendaraan berat yang diam tak bergerak beberapa puluh meter di depannya.
Seiring dengan tangan Roni yang menunjuk eskavator tersebut, pemandangan yang sangat hiruk pikuk memenuhi sekeliling masjid itu. Tepat di depan mereka berdua, jauh di bawah sana, sedang dilakukan pembangunan besar-besaran untuk memperluas dan mempercantik masjid yang sudah sangat indah itu. Nampak di depan mereka rangka-rangka bangunan bertingkat yang mulai terbentuk, ribuan kayu-kayu penyangga bangunan, serta hiruk pikuk pekerja yang mulai masuk ke area pembangunan setelah selesai menunaikan shalat Subuh. Di beberapa titik terdapat beberapa eskavator yang sedang melakukan pekerjaannya, mengeruk tanah merah berbatu dengan lengan besinya yang kokoh. Area kontruksi itu sangat luas, sehingga Roni, yang ditunjuk sebagai supervisor peralatan teknis, perlu kendaraan khusus untuk berkeliling dari bagian selatan ke bagian utara area proyek tersebut.
Seratus meter di depan sang Imam berdiri, jauh di depan sana, terpampang sebuah papan proyek bertuliskan.

MEGA PROYEK PEMBANGUNAN DAN PERLUASAN
AREA MASJID “ABDUL AZIZ AL-JUNAIDI”



0 comments:

Post a Comment